KABUL – Sebuah ledakan ranjau menewaskan dua orang karyawan Komisi Independen Hak Asasi Manusia Afghanistan, Fatima Khalil, seorang petugas penghubung donor dan supirnya bernama Jawid Folad Sabtu (28/6) pagi kemarin. Ledakan tersebut terjadi di alun-alun Butkhak di PD 12 ibukota Kabul.
Serangan ini telah menarik banyak perhatian para pejabat tinggi Afghanistan, para diplomat asing dan badan internasional. Mereka mengutuk serangan tersebut dan menyampaikan duka cita secara langsung lewat berbagai media sosial.
The Afghanistan Times mengatakan media sosial kini beralih ke platform yang digunakan untuk mengutuk insiden yang menyayat hati seperti itu. Terkadang media sosial di Afghanistan juga digunakan untuk memuji prestasi. Ini adalah perpaduan antara kesedihan dan kebebasan karena akhirnya para pejabat tersebut mulai menyampaikan opini mereka secara bebas.
Keluarga dan teman menyebut Fatima Khalil sebagai seseorang yang memiliki hati yang tulus, mereka curiga atas serangan yang terjadi karena tidak disebutkan siapa dan kelompok mana yang bertanggung jawab.
Fatima Khalil belajar di Sekolah Menengah Turki Afghanistan. Ia menguasai lima bahasa di usia 16 tahun dan mampu mendapatkan dua gelar ketika berusia 22 tahun. Keluarga dekatnya memanggil Ia Natasha.
“Ketika (Natasha) saya lahir, kami tidak memiliki 500 rupee untuk membayar bidan, jadi dia meninggalkannya untuk saya bersama ibu saya. Kemiskinan tidak membuatnya menjadi teroris,” ujar Lima Halima Ahmad, saudara perempuan Fatima, Sabtu (28/6).
Serangan terhadap pegawai sipil dari pemerintah dan organisasi non pemerintah bukanlah hal yang baru lagi. Bahkan baru-baru ini berubah jadi sebuah jenis target pembunuhan terhadap mereka. Pekan lalu, sejumlah pria bersenjata tak dikenal membunuh lima pegawai Kejaksaan Agung di distrik Deh Sabz di ibukota Kabul. Para penyerang belum diidentifikasi. Namun pemerintah Afghanistan terus-menerus menyalahkan Taliban atas pembunuhan warga sipil dan sejumlah tokoh penting.
Afghanistan Times menjelaskan bahwa peningkatan kekerasan terjadi di tengah proses perdamaian yang belum menemukan titik temu. Proses perdamaian yang diajukan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donal Trump ini memang dalam kondisi rentan karena perdamaiannya bertujuan untuk menarik semua pasukan Amerika dan mencapai penyelesaian politik dengan Taliban sebelum Pemilihan Presiden AS. Meskipun ada perselisihan oleh pihak Afghanistan, para diplomat AS telah mendesak pembebasan tahanan dan menekankan pada dimulainya awal negosiasi intra Afghanistan.
Lima Halima, saudara perempuan Khalil, mengatakan bahwa hak-hak perempuan Afghanistan pernah menjadi inti dari tujuan strategis Amerika Serikat, tetapi mereka sekarang dianggap sebagai masalah intra Afghanistan yang tidak akan diganggu oleh Amerika sendiri. Ia menyarankan agar seluruh wanita Afghanistan tidak lagi sekedar menjadi alat politik bagi Amerika.
Kembali ke rezim 1990, lanjutnya, Taliban menentang segala jenis hak bagi perempuan. Taliban juga dikenal dengan memberikan ketidakadilan terhadap kebebasan perempuan. Kemungkinan besar terjadi pelanggaran hak terhadap perempuan yang mengusung kebebasan berbicara dan mereka yang ingin terlibat dalam pembentukan pemerintahan usai masa perdamaian ini dibentuk.
Masyarakata internasional termasuk Amerika Serikat terus menerus menyuarakan dukungan agar prestasi yang pernah diraih perempuan di Afghanistan dipertahankan yang terjadi selama dua dekade terakhir, terutama yang berkaitan dengan organisasi internasional.
AIHRC adalah organisasi hak asasi manusia yang penting yang memantau berbagai jenis pelanggaran di tentang kemanusiaan baik oleh kelompok ataupun pemerintahan di Kabul. Badan tersebut telah bekerja untuk hak semua warga negara, termasuk para militan tanpa diskriminasi.
Semua lembaga internasional di Afghanistan marah melihat kasus yang menimpa Fatima yang meninggal saat menjalankan tugas. Lembaga internasional tidak ingin ini menjadi budaya dan kebiasaan yang dibenarkan di semua negara yang tengah dilanda perang.