THE EDITOR – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan mengatakan bila saat ini rasio utang luar negeri Indonesia sudah masuk dalam level cukup bahaya yang akan menyebabkan negara rentan mengalami krisis.
Dalam perbincangan dengan The Editor pada Jumat (28/3/2025) sore di kawasan Senayan, Anthony mengatakan bila kondisi ini memicu terjadinya krisis valuta atau krisis fiskal.
Krisis valuta adalah kondisi dimana nilai mata uang suatu negara tiba-tiba secara drastis turun. Salah satu penyebab situasi ini muncul karena meningkatnya utang sebuah negara.
Dalam Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan pada Desember tahun 2024 lalu, tercatat nilai utang Indonesia mengalami peningkatan sebanyak 1,22% menjadi Rp 8.909,14 triliun.
Sekedar informasi, penerimaan negara yang dicatat oleh Kementerian Keuangan untuk tahun 2024 adalah sebesar Rp 2.842,5 triliun. Angka ini didapat dari penerimaan pajak sebesar rp 1.932,4 triliun, dari kepabeanan dan bea cukai sebesar Rp 300,2 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tahun 2024 sebesar Rp 579,5 triliun.
Dari data tersebut, Anthony meminta pemerintah untuk tidak menyesatkan publik dengan opini seolah-olah pemerintah mampu membayar utang yang jatuh tempo dengan kekuatan keuangan negara karena nyatanya utang-utang pemerintah selalu dibayar dengan surat utang baru.
Ditambah lagi, lanjutnya, utang Indonesia didominasi oleh pinjaman asing sebesar 60%. Sementara itu, dalam analoginya, kemampuan Indonesia dalam menghasilkan devisa untuk membayar utang luar negeri tersebut sangat rendah.
“Kalau kemampuan menghasilkan devisa sangat lemah maka utang luar negeri akan menjadi beban,” ungkapnya.
JANGAN BAYAR PAKAI SURAT UTANG
Anthony mengatakan bila saat ini pemerintah harus menyiapkan instrumen baru agar utang luar negeri Indonesia tidak terus bertambah.
Tujuannya adalah agar penerimaan negara surplus untuk membayar utang dengan bunganya.
Karena, satu-satunya cara agar utang ini dapat dibayarkan adalah dengan menggenjot penerimaan, bukan dengan menerbitkan surat utang yang baru.
“Utang pemerintah hanya dapat dibayar kalau ada surplus pada APBN. Ini prinsip yang sangat penting untuk diketahui publik. Pemerintah hanya dapat membayar utang negara kalau terjadi surplus pada APBN,” katanya lagi.
“Dari mana pemerintah mendapatkan uang tersebut? Pemerintah melunasi utang tersebut dari menerbitkan surat utang baru. Artinya utang lama dilunasi dari utang baru. Oleh karena itu, jumlah utang tahun 2018 meningkat, meskipun utang yang jatoh tempo pada 2018 sudah dibayar, karena pembayarannya dilakukan melalui penerbitan utang baru,” tegas Anthony.
Ia mengingatkan bila beban bunga utang dobayar dengan surat utang baru, maka utang pemerintah akan naik dengan cepat. Situasi ini yang memicu kondisi fiskal yang kritis.