JAKARTA – Sidang kasus dugaan korupsi di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yang diadakan pada Selasa (16/11) mengungkap setidaknya tiga hal penting.
Ketiga hal tersebut adalah adanya peralihan kewenangan dalam perizinan rencana kegiatan dan anggaran biaya (RKAB), adanya tumpukan ore nikel hasil penambangan liar di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Antam, dan dipilihnya proses penunjukan langsung karena kedaruratan.
Pada sidang hari Selasa, yang merupakan sidang pembuktian dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan tiga orang saksi karyawan PT Antam dan dua orang ASN dari Kementerian ESDM.
Saksi dari Kementerian ESDM mengatakan bahwa terjadi peralihan kewenangan dalam perizinan RKAB setelah UU No.3 Tahun 2020 terbit.
Yang sebelumnya merupakan kewenangan daerah kemudian berubah menjadi kewenangan pusat–dalam hal ini dialihkan ke Kementerian ESDM.
Peralihan kewenangan evaluasi dan pemberian persetujuan RKAB ini menyebabkan lonjakan permohonan persetujuan RKAB dari yang sebelumnya sekitar 100 permohonan menjadi sekitar 4.000 permohonan pada tahun 2022.
Lonjakan permohonan ini menyebabkan tata cara evaluasi RKAB berdasarkan Kepmen 1806 Tahun 2018, yang mengharuskan evaluasi sekitar 12 aspek, tidak dapat dilakukan secara menyeluruh.
Hal itu karena, menurut saksi, apabila dilakukan, akan memakan waktu 4 tahun. Padahal, Kementerian ESDM hanya diberi waktu 14 hari untuk memberikan tanggapan atas permohonan RKAB yang diajukan para pemegang IUP berdasarkan Permen 7 Tahun 2010.
Mengenai tumpukan ore nikel di wilayah IUP PT Antam, saksi Galih (karyawan PT Antam) dalam keterangannya mengatakan bahwa tumpukan tersebut sudah ada dari sebelum dan sesudah KSO MTT melakukan kegiatan di IUP Antam pada Januari 2022.
Tumpukan ore nikel itu disebut berasal dari kegiatan penambangan liar. Akan tetapi, ketika Arie Nobelta Kaban selaku penasihat hukum Sugeng Mujiyanto menanyakan berapa jumlah ore nikel tersebut, saksi mengatakan tidak mengetahuinya.
Selanjutnya, masih menurut saksi, sebagian dari ore nikel yang ditinggalkan penambang liar tersebut sudah tidak ada di stockpile.
Sedangkan hasil kegiatan penambangan ore nikel dari KSO MTT, yang berjumlah sekitar 250.000 WMT, telah dijual oleh PT Antam sekitar 121.000 WMT. Sisanya dilelang oleh kejaksaan karena dianggap sebagai barang bukti dalam kasus ini.
Terakhir, mengenai penunjukan langsung KSO MTT sebagai pelaksana kegiatan penambangan di IUP PT Antam, saksi Adi Saputra selaku Manajer Procurement PT Antam menyampaikan bahwa kebijakan penunjukan langsung dipilih karena adanya situasi yang dianggap darurat.
Keadaan darurat tersebut merupakan diskresi pimpinan PT Antam yang didukung oleh kajian dari ITB.
Ketika Majelis Hakim bertanya siapa yang menyatakan keadaan darurat itu, saksi menyampaikan atasannya langsung yang memerintahkan hal tersebut.
Proses persidangan akan dilanjutkan pada Kamis (18/1) dengan menghadirkan saksi ASN dari Kementerian ESDM.