THE EDITOR – 50 tahun Didik Nini Thowok berkarya diwarnai oleh penampilan para sahabat-sahabat Sang Maestro dari seluruh belahan dunia pada tanggal 6-8 Desember 2024 kemarin di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).
Pesta budaya ini sekaligus dibuat untuk merayakan hari jadi Didik Nini Thowok yang ke-70. The Editor mendapat kesempatan untuk hadir dan menyaksikan pagelaran budaya yang dibuat khusus secara gratis kepada masyarakat Yogyakarta.
Tiba lebih awal, The Editor langsung menuju ruang rias Taman Budaya Yogyakarta yang sudah ramai oleh para seniman, penari dan perias di hari pertama pesta budaya pada Jumat (6/12/2024).
Didik terlihat sangat ceria dan antusias menyambut meski terlihat sangat sibuk memakai kain batik yang akan ia pakai di pentas pertamanya. Wajah pria bernama asli Didik Hadiprayitno ini memang tak pernah lepas dari senyuman.
“Eh sudah datang. Silahkan, silahkan. Ada banyak tamu juga sudah datang. Maaf ya sedang merapikan pakaian untuk pentas. Silahkan duduk,” sapa Didik ramah.
Meski sedang sangat sibuk, namun Eyang Didik, demikian ia akrab disapa langsung memperkenalkan tamu-tamu yang hadir di sore itu kepada redaksi.

Sang Maestro, Didik Nini Thowok tengah memperhatikan tampilan akhirnya sebelum naik ke atas pentas di Taman Budaya Yogyakarta pada Jumat, 6 Desember 2024 (FOTO: Elitha Evinora Beru Tarigan/THE EDITOR)
Didik juga terlihat tak masalah berbagi ruang rias dengan para penari muda. Sebuah bentuk kesederhanaan dalam berpikir ala Didik ini memang mengundang decak kagum karena Didik adalah seorang Maestro yang sudah melanglang buana ke seluruh penjuru dunia. Tak ada arogansi yang terlihat sedikitpun saat itu.
Para penari muda bebas bergerak kesana kemari sembari mempersiapkan kostum mereka masing-masing. Fotografer juga dibiarkan lalu lalang untuk mengabadikan pose Didik yang tengah mempersiapkan diri di ruang rias.
Situasi yang mungkin terlihat sangat jarang terjadi di dunia modern sekarang. Tapi tidak di Didik Nini Thowok.
“Bagi saya tidak ada senioritas. Semua sama asal serius dan tekun. Ruang rias juga sama saja. Terlihat kan semua sangat fokus mengerjakan bagian mereka masing-masing,” kata Didik yang beberapa waktu lalu didapuk sebagai penari pembuka ajang Indonesia Dance Festival di Jakarta beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, festival budaya ini, Didik berharap semakin banyak anak muda yang mau fokus dalam menekuni bidang apapun yang merek inginkan. Sama halnia seperti dia yang akhirnya berhasil mendapat pengakuan Maestro dari dunia.
DOSEN ISI: DIDIK NINI THOWOK ITU CERDAS DAN MENCURI START

Dosen Jurusan Tari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Daruni yang hadir di dua malam pesta 50 tahun Didik Nini Thowok berkarya mengatakan secara khusus bila Sang Maestro sangat jenius dan berhasil menjadi pionir yang menarikan tarian klasik nan sakral Jawa seperti Bedhaya dihadapan Sultan Hamengkubowono X.
“Festival 50 tahun ini sangat monumental sekali ketika ‘cah ndeso’ mencuri start menurut saya ketika dia menarikan Bedhaya Hagoromo ke depan Sultan. Menurut saya cerdas sekali dan Allah izinkan untuk melakukan itu,” ungkap Daruni.
Perlu diketahui, Tari Bedhaya adalah tari klasik Jawa yang hanya akan dipentaskan dihadapan raja-raja saja. Tarian ini juga hanya ditarikan oleh perempuan yang memiliki keahlian khusus karena gerakannya yang sulit.
Namun, oleh Didik Nini Thowok, pada Desember 2014 lalu, Sang Maestro menampilkan Bedhaya Hagoromo yang dipadukan dengan budaya Jepang. Tak hanya itu, seluruh penari yang mementaskan tarian ini juga adalah laki-laki.
“Saya sendiri merasa kecolongan tapi Tari Bedhaya Hagoromo adalah bentuk ucapan terima kasih Didik kepada Sultan yang telah membesarkan dia menjadi manusia yang tangguh dan berbudaya dan Didik sampai menyebar ke seluruh dunia serta Didik memilih tinggal di Yogya, bukan di Temanggung (kota kelahiran Didik). Ini luar biasa,” kata Daruni lagi.

Perayaan 50 tahun Didik berkarya menurut Daruni adalah sebuah pencapaian yang istimewa karena di usianya yang ke-70 tahun, Didik di mata Daruni masih tetap aktif berkarya, berbudaya dan berkreasi.
“Jadi harus diselebrasi seperti ini,” katanya.
Didik, kata Daruni, selama berkarya sangat mengutamakan persahabatan karena dalam berkarir tak melulu memikirkan tentang uang saja.
“Teman-temannya datang dari seluruh dunia karena rasa sayang kepada Mas Didik. Mereka semua sayang dan ingin bermain ketoprak padahal sudah senior demi Mas Didik. Ini kan keren sekali,” katanya.
Daruni berharap semakin banyak seniman muda bermunculan khususnya dari keturunan Tionghoa yang mau berkarya dan menjadi seorang maestro tari dari Indonesia.
Karena saat ini, kata Daruni, sudah banyak sekali anak-anak keturunan Tionghoa yang kecanduan budaya Jawa dan ikut pentas di banyak tempat bersama para dosen-dosen ISI.